Hutan Kalimantan Barat, Kemana Arahnya?

07.21 Diposting oleh HERI IRAWAN
NGABANG- Dalam sejarah perkembangan perusahaan HPH di Kalbar, terdapat sebanyak 87 buah perusahaan HPH dan 9 buah diantaranya terbit dengan ijin Bupati. terbitnya ijin HPH murni dari Bupati merupakan refleksi dari reformasi kebijakan sector kehutanan melalui UU No. 22 dan 41 Tahun1999 serta PP No. 25 Tahun 2000 dimana Mentri melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Bupati sehingga dengan kewenangan tersebut, Bupati dapat menerbitkan SK HPH murni untuk pengusaha kecil dan lokal serta HPHH 100 Ha untuk masyarakat lokal dan koperasi serba usaha (KSU) di sekitar kawasan hutan (Tim Peneliti CIFOR Pontianak, 2002).
Pembalakan hutan, yang dimulai sejak 1969 dan sampai dengan tahun 2003 ini masih terus berlansung dan akan terus berlansung sampai waktu yang tidak dapat diketahui. Penghentian aktivitas ini tidak dapat hanya dilakukan dengan memberlakukan kebijakan desentralisasi. Proses deforestasi yang diawal tahun 1999 mulai melibatkan komunitas lokal merupakan kelanjutan dari proses deforestasi dari masa sebelumnya, dimana justru masyarakat lokal, yang berdiam disekitar hutan sampai tahun tersebut belum memperoleh keksempatan. Sebelum adda upaya untuk membuka kesempatan keluar diluar kegiatan eksploitasi bagi mereka, maka perhatian masyarakat pada hutan tidak akn berpaling dan selama itu pula proses deportasi akan terus berlansung. Berbagai ancaman yang dialamatkan kepada pemerintah Indonesia tidak akan efektif selama masyarakat yang bermukim disekitar hutan tidak dapat diangkat kesejahteraan mereka, bahkan mereka siap berhadapan dengan petugas penertib bilamana upaya penghentian ini dipaksakan pemerintah sebagaimana yang diperlihatkan mereka kepada Tim Wanalaga pada tahun 2002 diwilayah Kabupaten Ketapang, Sintang dan Kapuas Hulu.
Hasil pengertian Alqadrie dkk (2003) tentang otonomi kelestarian dan kesejahteraan masyarakat diwilayah perbatasan menemukan hasil yang mengejutkan banyak pihak. Meskipun sejak 1999 dan bahkan 1998, hutan dikelola secara marak dengan keterlibatan masyarakat lokal, namun hasilnya baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk yakni mereka yang secara lansung terjun dalam aktivitas ekploitasi dan mereka yang menduduki jabatan struktur formal dalam pemerintahan maupun dalam struktur sosial pada kelembagaan adat. Dengan demikian, dari hasil eksploitasi hutan tetap dinikmati oleh kelompok pemodal yang terdiri dari pemilik IPKH, pemilik HPH, pemilik angkutan baik darat maupun sungai dan makelar kayu. Namun, penelitian ini menyimpulkan bahwa dampak desentralisasi sector kehutanan terhadap pelaksanaan otonomi daerah menjadi 200 s/d 230% dari angka pendapatan tahun 1997 yang dalam hal ini disumbang oleh sub sektor kehutanan lebih dari 75%.
Sudah sepantasnya, di Kalbar masalah eksploitasi sumber daya alam hutan (SDAH) terutama yang menyangkut hasil kayu yang menjadi perhatian banyak pihak. SDAH diesploitasi tadak hanya untuk memenuhi industri dlam negeri melainkan juga untuk pasar Serawak dimana eksploitasi untuk memenuhi pasr luar negeri tersebut dilakukan secara illegal, baik masyarakat dan daerah maupun Negara tidak mendapatkan pendapatan yang sepantasnya dari kegiatan ekploitasi ini.
Lolosnya kayu ke Luar Negeri secara illegal menurut penulis tidak hanya disebabkan belum terbukanya secara luas lapangan kerja diluar sub sector kehutanan, tetapi juga disebabkan oleh sebagian masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dan dulunya tidak terlibat dalam kegiatan ekploitasi, lemahnya system komunikasi ditingkkat bawah, tidak tegaknya hukum dan lemahnya aparat penegak, prosedur dan distribusi dokumen SKSHH oleh dinas kehutanan, masih tersangkutnya beberapa kewenangan daerah pada pusat dan konflik kepentingan antara pusat dan Daerah.
Agar dapat menembus kendala diatas, masyarakat daerah membangun system dan jaringan sendiri dan kemudian melaksanakan sistim dan komunikasi yang telah tebangun secara swadaya ini. Akibatnya, otonomi yang diberikan daerah tidak berjalan sebagaimana diharapkan sehingga masyarakat dan daerah maupun pusat tidak mendapatkan keuntungan yang optimal atas sumber yang mereka miliki ini.
Maraknya kegiatan ekploitasi SDAH akhirnya menimbulkan dikotomi antara stakeholder di tingkat lokal. Beberapa kelompok yang tergabung dan basis kegiatan mereka berkaitan atau memiliki kepentingan dengan SDAH dan aktivitas ekploitasi, memberikan dukungan pada system pengelolaan hutan ala mayarakat, sementara kelompok pelestari dan institusi daerah mengalamatkan kesemrautan yang terjadi ini sebagai proses lanjut dari potret pengelolaan hutan masa lalu yang tidak dapat dihentikan haqnya dengan desentralisai kewenangan. Begitu tim penertib diturunkan ke daerah, kelompok yang berbasis lokal menyatakan keberatan mereka dengan alas an tindakan penertiban ini dilakukan tidak didahului dengan melakukan koordinasi dengan tidak pula didahului dengan upaya pemberdayaan masyarakat daerah.
Dari ilustrasi diatas, terlihat bahwa dukungan kepada rakyat untuk melakukan pengelolaan hutan dari berbagai pihak masih cukup besar namun pengelolaan yang diinginkan ini masih belum menemukan bentuk permanent yang memenuhi kelestarian (Pengelolaan Hutan Lestari). Dukungan ini juga dimaksudkan sebagai bentuk mediasi kepada daerah dalam rangka mengisi PAD dari sector kehutanan mengingat sumber dana untuk pembiayaan pembangunan dan pemerintahan daerah otonomi masih sangat terbatas dan atau masih belum terbuka. (*)
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Hutan Kalimantan Barat, Kemana Arahnya?"


Powered by www.tvone.co.id