Masih Terjadi Kekerasan Gender

15.25 Diposting oleh HERI IRAWAN

NGABANG- Peran media masa adalah institusi yang saat ini paling efektif dalam menyebarkan informasi bagi masyarakat, mengingat daya sebarnya sangat luas sehingga kepelosok-pelosok tanah air. “Saat ini media masajuga dapat menjadi salah satu alternative untuk membentuk dan menyuarkan ketidakadilan yang dialami perempuan maupun penderitaan di daerah konflik,” kata Adriana Venny, Ketua Badan Pembina Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), disela-sela sebagai nara sumber Workhshop Partisipasi Media Dalam Upaya Menghapus Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, Selasa (29/07), kemarin di aula pertemuan Hotel Hanura Ngabang, bekerjasama dengan UNFPA, yang dihadiri seluruh wartawan di Landak. Dikatakannya, disisi lain media massa juga membantu para pejuang hak perempuan untuk menyuarakan pentingnya melindungi hak perempuan dari kekerasan berbasis gender. “Apa yang harus dilakukan para media dalam menyikapi masalah ini, tentunya harus memahami prinsip-prinsip dasar kesetaraan gender, kemudian menerapkan jurnalisme gender disetiap liputannya dengan tidak meletakkan stigma dan stereotip pada perempuan,” katanya.
Lebih jauh dikatakannya, konsep pokok dalam memahami kekerasan berbasis gender atau Gender Based Violence (GBV), menurut UNFPA, bahwa ada empat hal penting, yaitu pertama: pelanggaran HAM, kedua: penyalahgunaan kekuasaan, ketiga: dengan kekerasan (fisik, psikis, seksual, ekonomi) dan terakhir keempat meski dengan persetujuan. Timbul pertanyaan, mengapa kita mengunakan istilah “Kekerasan Berbasis Gender? Dijelaskkan Koordinator Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender ini, bahwa ini digunakan karena istilah tersebut mencoba menggambarkan sifa alami kekerasan dan memberikan kesan bahwa untuk menunjukkkan kekerasan¸perlu merujuk persoalan gender yang menyebabkan dan mendukung terjadinya kekerasan.
Berdasarkan Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, sidang ke 11 tahun 1992 Komite PBB tentang Penghapusn Diskriminasi terhadap Perempuan antara lain berbunyi poin 6: Defenisi diskriminsi terhadap perempuan termasuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap seseorang perempuan, karena ia adalalah perempuan atau hal-hal yang memberikan akibat pada perempuan secara tidak propesional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau macam-macam seperti itu, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan tertentu dari konvensi, lauapun ketentuan itu tidak menyatakan secara spesipik adanya kekerasan. “Jika digambarkan dalam ranting-ranting pohon, GBV memiliki cakupan yang sangat luas” kekerasan domestic, pelecehan, kekerasan dan eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi perempuan, semua hal ini termasuk dalam GBV, demikian pula dengan trafiking, penularan HIV/AIDS kepada istri, melemahkan posisi tawar, sunat perempuan, dan sebagainya juga bisa masuk dalam katagori GBV,” jelasnya.
Dia juga mengatakan di seluruh dunia ketimpangan gender berakibat pada melorotnya kualitas hidup perempuan. Berdasarkan statistic yang ada, mayoritas perempuan penduduk miskin di dunia adalah perempuan 70 persen dari orang yang hidup dalam kemiskinan perempuan. Dan dari data Komnas Perempuan, kekerasan dalam rumah tangga tahun 2007 meningkat 125 persen. Bahkan data Mabespolri, angka seksual (perkosaan) meningkat 25 persen tiap tahunnya. Dia juga menambahkan fakta-fakta dan data GBV di wilayah seluruh Indonesia, diantaranya NAD tahun 1976-2005, kekerasan berbasis gender di masa DOM (konflik bersenjata) perkosaan ada 40 kasus, pelecehan seksual, kekerasan seksual saat diiterogasi, trafiking, korban rayuan militer (koramil). Dari kasus ini, katanya, tindak lanjut dari berbagai jenis dan jumlah kekerasan, tindak lanjutnya hanya 2 kasus diproses di pengadilan militer. Di Jakarta, Mei 1998, diperkirakan 168 perempuan diperkosa, mayoritas dari etnis Cina dan mirip etnis Cina (data dari Tim relawan). “Hingga saat ini belum ada progress. Dan tidak ada satupun korban yang bersedia bersaksi,” ungkapnya.
Menyangkut peran media, tambah dia, tak dapat dipungkiri, media dengan sifatnya massive memiliki potensi besar untuk membangkitkan public awareness menuju masyarakat yang lebih berkeadailan gender di Indonesia. “Maka dari itu, masih banyak hal yang saat ini dibutuhkan untuk mewujudkan kerjasama dan dukungan lintas sector, kode etik dlam isntitusi militer dan kepolisian yang mendukung perlindungan hak-ahak perempuan, UU Penanggulangan bencana alam dan social yang sensitive akan kebutuhan spesifik perempuan, berkolborasi dengan media sehingga mereka dapat membantu mengempanyekan upaya yang diharapkan dalam Resulusi 1325, dan semua hal-hal lain yang dapat menunjang itu semua.(wan)
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Masih Terjadi Kekerasan Gender"


Powered by www.tvone.co.id