Dekada Tahun 60 an Masyarakat Adat Mengalami Krisis Lahan Pertanian
PULAU Kalimantan dihuni oleh penduduk asli Masyarakat Adat. Diseluruh Pulau Kalimantan diperkirakan populasinya sekitar 6 000 000 jiwa. Mereka terdiri lebih dari 400 sub-suku. Kelompok yang besar seperti Iban, Kanayatn, Kenyah, Kayan, Taman, Ngaju, Kadazan. Mereka hidup dengan cara bertani. Sistem pertanian mereka masih menerapkan metode tebas-bakar (slash-and-burn atau swidden) dan metode rotasi . Metode ini berkaitan ersat dengan kesuburan tanah dan keseimbangan alam.
DI daerah Kalimantan yang minus gunung berapi, kesuburan tanah bergantung pada humus yaitu; penguraian unsur-unsur kesuburan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Metode tebas-bakar mempercepat proses penguraian ini. Abu hasil pembakaran pepohonan dan tetumbuhan ini menjadi unsur penyubur tanah. Sistem rotasi lebih ditekankan pada pengaturan siklus hutan – ladang - hutan. Rotasi yang baik memberi kesempatan pada bidang tanah tertentu untuk mengembalikan kesuburannya sebelum digunakan kembali untuk budidaya padi lewat proses pembawasan (fallowing). Ideal atau tidaknya “jeda” pembawasan ini akhirnya tergantung pada luas tidaknya lahan yang tersedia bagi satu komunitas.
“Sejak tahun 1967, hutan-hutan Kalimantan mulai dieksploitasi oleh Perusahaan HPH, HTI, Perkebunan sawit berskala besar. Sejak itulah masyarakat Masyarakat Adat mengalami krisis lahan pertanian. Karena lahan pertanian semakin berkurang, menyebabkan pertanian dengan system rotasi tidak dapat berjalan secara sempurna,” kata yohanes Supriadi, Ketua Palma Institute Pontianak
Artinya, kata dia, masyarakat Adat terpaksa harus kembali menggarap tanah yang sebenarnya belum saatnya untuk digarap lagi. Selain itu pada saat itu pulalah masyarakat Masyarakat Adat mulai mengalami krisis perubahan iklim sebagai akibat dari penebangan hutan secara besar-besaran. Iklim berubah secara tidak teratur musim kemarau dan musim hujan hampir tidak bisa dipisahkan lagi. Musim kemarau dan musim hujan menjadi lebih panjang dari waktu yang seharusnya. Hal ini mengakibatkan banjir atau musim kemarau secara berkepanjangan. Saat tanaman membutuhkan air justru musim kemarau, sebaliknya saat tanaman membutuhkan sinar matahari justru terjadi musim hujan. Sistim pertanian Masyarakat Adat terhimpit oleh tekanan berkurangnya lahan pertanian oleh berbagai mesin perusahaan kayu dan tertekan pula oleh berubahnya iklim global.
Dalam hal hubungan antara tanah Kalimantan dengan kenyataan bahwa hutan di pulau ini (dahulu) adalah hutan-hutan yang lebat, Victor T. King menjelaskan bahwa hal ini merupakan hasil dari siklus pelapukan yang cepat dari tumbuh-tumbuhan hutan yang dibantu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi1. Unsur-unsur hara tersedia karena pembusukan tetumbuhan yang cepat terjadi lantaran kelembaban yang tinggi yang dikarenakan curah hujan yang tinggi dan suhu yang tinggi. Unsur penyubur tanah ini bertumpuk-tumpuk di dasar hutan dan tidak pergi tersapu air karena terhalang oleh akar-akaran berbagai tanaman besar dan kecil. Unsur penyubur tanah tersebut juga tidak “menguap” karena tertutup oleh dedaunan pohon-pohon yang tinggi.
Kalender pertanian dan kalender budaya berubah. Ada 23 tahapan kegiatan pada perladangan Masyarakat Adat (Atok,2000), khususnya Masyarakat Adat kanayatn di Kalimantan Barat. Tahapan-tahapan ini sangat dipengaruhi oleh ikllim yang selama ini terjadi di Kalimantan. Tahapan pertama adalah Ngaranto yaitu pencarian lokasi ladang yang sesuai, yang dilakukan berdasarkan ilmu perbintangan dan musim yang sesuai. Kegiatan ini dilakukan pada awal musim kemarau (lihat juga Nieuwenheuis, 1894). Dilakukan bulan Maret. Saat ini dilakukan b ulan Mei atau juni. Karena perubahan waktu ngaranto ini maka seluruh tahapan berikutnya juga berubah. Akibat perubahan yang signifikan ini, maka event-event budaya yang mengikuti ritual perladangan ini akhirnya hilang, karena pada saat tersebut kondisi alam sudah tidak sesuai lagi dengan ritual budaya yang seharusnya terjadi. Hilangnya budaya ini menyebabkan anak-anak Masyarakat Adat sangat mudah mengadopsi budaya asing, akibatnya telah terjadi krisis kebudayaan yang hebat bagi Masyarakat Adat.
Padi dan serealia umumnya sangat peka terhadap perubahan suhu udara meskipun kecil. Bagian reproduktif yang dinamakan spikelet akan menjadi steril jika suhu meningkat, sehingga mempengaruhi produktivitasnya (Murdiyarso,2003). Dengan semakin berkurangnya hutan dan perubahan iklim global, maka pertanian padi masyarakat Masyarakat Adat semakin berkurang produktivitasnya. Hal ini sangat berkaitan dengan kalender pertanian di atas. Iklim tidak menentu, sehingga pengetahuan local yang selama ini dianut menjadi tidak mampu lagi menjangkaunya. Dengan demikian perubahan iklim global mempunyai andil yang besar terhadap hilangnya kearifan dan pengetahuan local Masyarakat Adat
Selain pada padi, pohon buah-buahan juga sangat mudah dipengaruhi perubahan iklim global, dalam 10 tahun terakhir ini, Durian berbunga sepanjang tahun namun hanya sedikit yang menjadi buah dan kualitas buahnya sangat rendah. Akibatnya harga jual juga rendah . Dulu setahun sekali, buahnya banyak sekali. Dalam 10 tahun ini, tidak ada pohon durian yang berbuah banyak, banyak bunganya gugur.
Iklim global berpengaruh pula pada perikanan rakyat, khususnya yang menggunakan system keramba. Banyak usaha perikanan rakyat model ini bangkrut karena pengaruh suhu air yang meningkat menyebabkan ikan-ikan mati (APPost, senin 9 Maret 2004). (bersambung)
You can leave a response, or trackback from your own site.

0 Response to "Dampak Perubahan Iklam Global Bagi Masyarajat Adat di Kalbar (1)"


Powered by www.tvone.co.id